Muktamar Fiqhul Hadlarah I, NU Akan Minta Ulama Dunia Berfatwa soal Status Piagam PBB

Jum'at, 16 Desember 2022 - 07:12 WIB
loading...
Muktamar Fiqhul Hadlarah I, NU Akan Minta Ulama Dunia Berfatwa soal Status Piagam PBB
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam Gala Dinner dengan sejumlah diplomat negara-negara Islam dan negara sahabat di Jakarta, Kamis (15/12/2022). Foto/MNC Media
A A A
JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggagas muktamar internasional fikih peradaban, Fiqhul Hadlarah I pada tanggal 6 Februari 2023 mendatang. Muktamar ini merupakan rangkaian terakhir dari 9 klaster kegiatan, sebelum puncak Resepsi Satu Abad NU di Sidoarjo.

"Ini istilah tak dikenal di dunia Islam. Tapi ini istilah yang banyak digunakan umat Islam di Indonesia dan NU untuk menunjuk pada wacana keagamaan di berbagai masalah yang berkembang di masyarakat," ujar Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam Gala Dinner dengan sejumlah diplomat negara-negara Islam dan negara sahabat di Jakarta, Kamis (15/12/2022).

Menurut Gus Yahya, sampai saat ini dunia masih dibayangi konflik identitas dan agama atau yang mengatasnamakan agama. Konflik ini memang bukan baru terjadi tapi sudah sangat lama. Padahal, dunia sudah memiliki sebuah kesepakatan besar yakni Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Sayangnya, hal-hal yang disepakati secara internasional tidak serta-merta dapat diterapkan secara domestik oleh negara-negara anggota PBB. Dinamika percaturan di antara aktor-aktor global pun tidak secara konsisten mengarah kepada pemapanan dan penguatan kesepakatan-kesepakatan tersebut.

Dengan kata lain, visi dari Piagam PBB dan Organisasi PBB adalah sesuatu yang masih harus diperjuangkan oleh mereka yang sungguh-sungguh menyetujuinya dan mempercayai kemungkinan terwujudnya.

Kelompok-kelompok Muslim yang terlibat konflik –termasuk dengan menggunakan kekerasan hingga teror— mempertahankan posisi mereka dengan mengajukan rujukan-rujukan di dalam "turats fiqhiyyah". Hingga satu abad lalu, konflik dan peperangan atas nama agama masih dianggap normal.

"Ini bukan sesuatu yang eksklusif menyangkut Islam saja. Pihak-pihak di luar Islam pun pada umumnya meneguhi pola sikap dan tindakan yang didasarkan pada anggapan bahwa perlawanan atas nama agama terhadap pihak lain adalah tuntutan moral," jelasnya.

Karena itu, dalam muktamar nanti peserta akan meminta fatwa atas status legal Piagam PBB itu. "Sejauh mana keabsahan Piagam PBB dan Organisasi PBB –dengan mempertimbangkan alasan, proses dan mekanisme serta tujuan kelahirannya—sebagai perjanjian (‘ahd) yang mengikat umat Islam atas dasar keabsahan pihak-pihak –negara-negara dan para kepala negara—yang mengklaim posisi sebagai wakil-wakil mereka (umat Islam) pada saat menyepakatinya," papar Gus Yahya.

Para ulama dan ahli fikih, kata Gus Yahya, perlu memberikan jawaban atas satu pertanyaan mendasar itu. Menurut Gus Yahya, gagasan muktamar internasional fikih itu merupakan bagian dari ikhtiar NU untuk berkontribusi dalam perdamaian dunia internasional.

"Ini awalan dari inisiatif strategis yang diusung NU dalam membangun peradaban," ucap Gus Yahya.

Muktamar ini akan dihadiri sejumlah ahli fikih dunia dan tokoh muslim internasional seperti Syaikh Dr Ahmad Al-Thayib (Grand Syaikh Al Azhar, Mesir); Syaikh Abdullah bin Mahfudh Ibn-Bayyah (Majelis Hukana Al amuslimin, UAE); Al Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al Jufri (Direktur El Taba Institute, UAE); Eslam Sa'ad (Peneliti Islam Kontemporer,. Mesir); Dr. Syafiq Ibrahim Allam (Grand Mufti, Mesir); dan Prof Koutoub Moustapha Kano (Sekjen Council of Islamic Fiqh Afrika). Baca juga: Gus Yahya Harap Serikat Buruh NU Kembali ke Jati Diri sebagai Entitas Gerakan Keagamaan

Sementara dari Indonesia yang akan menjadi pembicara adalah Prof Dr KH Quraish Shihab, KH Miftachul Akhyar (Rais Aam PBNU), KH Ma'ruf Amin (Wakil Presiden RI), KH Afifuddin Muhajir (Wakil Rais Aam PBNU), dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Mustasyar PBNU).
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1173 seconds (0.1#10.140)